PROFILE AMAN

PROFILE ALIANSI MASYARAKAT ADAT NUSANTARA

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) adalah organisasi kemasyarakatan (ORMAS)  independen yang anggotanya terdiri dari komunitas-komunitas Masyarakat Adat dari berbagai pelosok Nusantara. AMAN terdaftar secara resmi di Departemen Kehakiman dan Hak Azasi Manusia
sebagai Organisasi Persekutuan melalui Akta Notaris No.26, H. Abu Yusuf, SH dan Akta Pendirian tanggal 24 April 2001. Selanjutnya, kemudian diperbaharui melalui Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor: AHU-0000340.AH.01.08. Tahun 2017 melalui Akta Notaris & PPAT No. 2, Ellyza, SH., M.Kn dengan Nomor NPWP 02.072.633.7-015.000.

AMAN dideklarasikan berdasarkan bangunan sejarah pergerakan Masyarakat Adat yang panjang di Indonesia. Sejak pertengahan tahun 1980-an telah muncul kesadaran baru di kalangan organisasi non pemerintah (ORNOP) dan para ilmuwan sosial tentang dampak negatif pembangunan yang sangat luas terhadap berbagai kelompok masyarakat di Indonesia. Masyarakat Adat adalah salah satu kelompok utama dan terbesar jumlahnya yang paling banyak dirugikan oleh (dan menjadi korban) politik pembangunan selama tiga dasawarsa terakhir ini. Penindasan terhadap Masyarakat Adat ini terjadi baik di bidang ekonomi, politik, hukum, maupun di bidang sosial dan budaya lainnya.

Sejak pertengahan tahun 1980-an perlawanan Masyarakat Adat terhadap berbagai kebijakan pemerintah mulai bermunculan secara sporadis. Situasi ini menggugah keprihatinan banyak aktivis gerakan sosial dan akademisi atas kondisi yang dihadapi oleh Masyarakat Adat di berbagai kampung di tanah air sejak tahun 1990-an. Akhirnya pada tahun 1993 di Toraja-Sulawesi Selatan disepakati pembentukan sebuah wadah yang diberi nama Jaringan Pembela Hak-hak Masyarakat Adat (JAPHAMA) yang dipelopori para tokoh adat, akademisi, pendamping hukum dan aktivis gerakan sosial. Kehadiran JAPHAMA juga sebagai tanggapan atas menguatnya gerakan perjuangan Masyarakat Adat di tingkat global.

Dalam pertemuan JAPHAMA tersebut, juga dibicarakan dan disepakati mengenai istilah Indigenous Peoples dalam konteks Indonesia sebagai “Masyarakat Adat”. Penggunaan istilah tersebut merupakan bentuk perlawanan terhadap istilah yang dilekatkan kepada Masyarakat Adat yang
melecehkan, seperti suku terasing, masyarakat perambah hutan, peladang liar, masyarakat primitive, penghambat pembangunan, dan sebagainya yang melanggar hak konstitusional Masyarakat Adat sebagai manusia bermartabat, untuk diperlakukan layaknya warga negara Indonesia. Melalui JAPHAMA, tokoh-tokoh adat dan berbagai elemen lainnya melakukan konsolidasi atas gagasan mengenai Masyarakat Adat dan identifikasi cita-cita bersama. Para pemimpin/ tokoh-tokoh adat pun kemudian mendapatkan dukungan dari berbagai aktivis dan ORNOP dengan berbagai latar belakang yakni lingkungan hidup, anti globalisasi, pembaruan agraria, pendamping hukum, aktivis kebudayaan dan lain-lain untuk bersama-sama mewujudkan
terlaksananya Kongres Masyarakat Adat ketika terjadinya momentum reformasi.