FILOSOFI “BEGIBUNG” MASYARAKAT SASAK

IMG_20170730_113441

“begibung itu istimewa. tidak mewah tapi ramah, tidak glamour tapi penuh dengan humor”
-Rohani Inta Dewi-

Begibung adalah tradisi makan bersama secara turun temurun dalam masyarakat suku sasak, Lombok provinsi Nusa Tenggara Barat. satu tempat begibung yang bernama nampan/nare disantap oleh 2 orang/3 orang/4 orang bahkan lebih. biasanya begibung ini dilakukan secara massal pada saat begawe dan roah (syukuran). dalam keseharianpun ini dilakukan tapi hanya dengan beberapa orang saja.

begibung ini bukan tradisi yang hanya bersifat ceremonial saja akan tetapi syarat akan makna filosofi yang terkandung didalamnya. pertama, sebagai perwujudan kesetaraan dan keadilan. menunjukkan bahwa tidak adanya perbedaan si kaya dan si miskin, si yang berpendidikan tinggi dan rendah, si pejabat dan si amaq kangkung (masyarakat biasa/wong cilik), serta tidak ada istilah tamu yg special (VVIP) dan tidak (Reguler). semua diperlakukan sama dan melebur menjadi satu dalam wadah makan yang bernama nare/nampan.

 
kedua, menumbuhkan solidaritas dan persaudaraan. dalam tradisi begibung yg egaliter, secara tidak langsung menumbuhkan rasa solidaritas dan persaudaraan yang tinggi. dimana hal tersebut tercermin pada ekspresi mereka yang sumringah, bahagia ketika begibung, dan secara alami muncul interaksi dan candaan diantara mereka. sehingga bisa dikatakan secara tidak sadar pula interaksi-interaksi tersebut mempererat hati dan bathin mereka.

 

ketiga, penyambung dan perekat tali silaturrahmi. melalui begibung orang-orang yang sudah lama tidak bertemu dan bertegur sapa dengan teman, sahabat, keluarga dan mantan (eh) karna kesibukan yang berbeda-beda dipertemukan lagi. sehingga tidak jarang dari mereka juga membuat perjanjian akan bertemu kembali (bukan untuk CLBK) untuk hanya sekedar bertemu dan ngobrol.

keempat, menanamkan nilai sederhana dan rendah hati. nila tersebut terpatri melalui penyajiannya yang sederhana serta cara menyantapnya yang juga sederhana tidak mengggunakan sendok, dan tidak duduk di kursi. jauh dari kesan mewah namun disitulah keistimewaan dari begibung ini. tidak mewah tapi ramah, tidak glamour tapi penuh dengan humor.

 
kelima, mempertahankan semangat goyong royong. sisi lain yang menarik dari begibung ini adalah setelahnya. ketika semua sudah selesai begibung maka masyarakatnya baik laki-laki dan perempuan akan membantu si tuan rumah (epen gawe dalam bahasa sasak) untuk mengangkat dan membersihkan semua perabotannya dan yang lainnya. nilai-nilai gotong royong sangat kental terlihat jauh sebelum tagline “saya indonesia, saya pancasila” viral di sosial media.

 

disisi lain tidak bisa dinapikkan bahwa tradisi begibung ini sudah mulai memudar dibeberapa tempat tidak hanya di wilayah perkotaan tapi juga di desa-desa sampai kampung-kampung yang sudah mulai lebih memilih praktis (tidak mau repot) cukup hanya dengan pesan catering semua masalah terselesaikan.

 

karna secara penyajian begibung lebih banyak menghabiskan alat-alat perabotan seperti piring, gelas dan nampan yang bagi sebagian orang ini merepotkan dan menyusahkan serta membutuhkan tenaga ekstra lagi untuk mencuci piring dan alat-alat lainnya yang berjumlah sangat banyak.

 
namun, mereka dan kita sering kali lupa bahwa disitulah nilai kebersamaan, persaudaraan, rasa empati, tolong-menolong, dan gotong royong mulai tumbuh, bersemi, dan berkembang. dimana hal tersebut di era serba instant ini mulai menjadi barang langka dan susah ditemukan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *